Tak Ingin Payudara Dipotong, Lisa Lawan Kanker ke Guangzhou

img
Lisa Spencer (detikhealth)
Denpasar, Tubuhnya tinggi ramping dengan wajah yang selalu terlihat segar dan cantik. Tapi siapa sangka perempuan cantik tersebut pernah punya pengalaman horor akibat terkena tumor yang sudah menjadi kanker payudara.

Awalnya, Lisa hanya memiliki benjolan di payudara kanan atas di tahun 2009. Setelah diperiksa ternyata benjolan itu adalah tumor yang sudah menjadi kanker payudara stadium dini.

Dokter di Jakarta saat itu menyarankan untuk dilakukan pengangkatan dengan tindakan potong payudara. Tujuannya agar kankernya tidak menyebar lebih luas dan setelah itu dilakukan kemoterapi ke seluruh badan.

Seperti kebanyakan wanita lain, vonis harus potong payudara itu tentu saja membuat Lisa shock. Apalagi seorang sahabatnya yang berprofesi dokter dengan jujur pernah berkata jika satu payudara dipotong maka payudara satunya akan bekerja lebih keras, padahal Tuhan menciptakan 2 payudara untuk keseimbangan tubuh.

"Tapi sahabat saya dokter itu berkata memang kalau ada bagian tubuh yang 'kotor', maka secara medis itu harus dibuang. Jadi rekomendasi dokter agar payudara diangkat sudah sesuai prosedur," ungkap Lisa Spencer (44 tahun) yang ditemui detikHealth di acara Seminar kanker oleh Prof dr Peng Xiao Chi dari Modern Cancer Hospital Guangzhou di Hotel Sanur Beach Bali seperti ditulis Senin (5/3/2012).

Karena tak ingin satu payudaranya hilang, Lisa sempat mendiamkan sakitnya itu hingga satu setengah tahun. Akibatnya, benjolan itu bertambah besar hingga sebesar bola tenis dan rasa nyerinya pun kian sering muncul. Suaminya, yang bernama Spencer, seorang warga negara Inggris, mulai khawatir melihat benjolan besar di payudara sang istri.

Sang suami terus mendorong Lisa agar mencari pengobatan untuk menyembuhkan tumor besarnya itu. Tapi sama seperti Lisa, sang suami rupanya sangat takut jika istrinya harus menjalani kemoterapi konvensional usai tindakan pengangkatan payudara.

"Suami saya trauma, karena istrinya yang pertama meninggal karena kanker. Suami saya melihat bagaimana penderitaan istrinya waktu itu yang setelah menjalani kemoterapi malah kondisinya memburuk bukan membaik. Karena itu suami saya tidak mau pengalaman dengan istrinya yang dulu terjadi lagi pada saya," ungkap perempuan berdarah Padang yang kini berusia 44 tahun itu.

Suaminya mendorong agar Lisa mencari pengobatan dengan risiko seminimal mungkin. Hingga kemudian pasangan itu mendapatkan info sebuah rumah sakit di China punya pengobatan khusus untuk semua jenis kanker dengan risiko yang minimal.

Berangkatlah Lisa ke Guangzhou menuju Modern Cancer Hospital Guangzhou, sebuah rumah sakit swasta yang dikenal khusus untuk pengobatan kanker di tahun 2010. "Saat pergi itu, saya seperti mempertaruhkan jiwa karena tidak tahu apa benar penyakit ini bisa sembuh," ungkap Lisa.

Setiba di Modern Cancer Hospital Guangzhou, dokter langsung melakukan pemeriksaan PET (positron emission tomography) Scan, PET Scan ini lebih unggul dari CT (computed tomography) Scan karena meningkatkan akurasi dokter dalam memeriksa jenis kanker termasuk yang masih kecil sekali pun.

Di Modern Cancer Hospital Guangzhou, pasien ditangani oleh tim dokter termasuk Lisa yang ditangani 7 dokter. Dari hasil PET Scan itulah dokter memutuskan pengobatan apa yang tepat untuk tumor payudara Lisa yang segede bola tenis.

Tim dokter Modern Cancer Hospital Guangzhou memfokuskan 3 pengobatan untuk Lisa yaitu:
1. Pemusnahan kanker
2. Pembersihan sisa kanker
3. Penguatan

Menurut Prof dr Peng Xiao Chi, metode pemusnahan kanker yang dilakukan rumah sakit ini adalah dengan cara pengobatan zero yang terdiri dari kemoterapi lokal dan penyumbatan kanker. Caranya cukup rumit dengan memasukkan selang kecil ke pembuluh darah yang ada sel kankernya. Jadi hanya yang benar-benar ada kankernya yang diberikan obat kemoterapi bukan seluruh badan sehingga tidak merusak sel-sel yang masih sehat.

Obat kemoterapi ini dimasukkan ke pembuluh darah yang ada sel kankernya, setelah itu dilakukan penyumbatan pembuluh darah. Karena pembuluh darah disumbat maka sel kanker tersebut kekurangan nutrisi yang dipasok dari pembuluh darah. Akibatnya sel kanker mengecil dan mati karena obat kemonya terbungkus dalam kanker dan tidak pergi kemana-mana.

Lisa mengaku mendapatkan 6 kali pengobatan zero dengan jarak setiap 3 minggu. Setelah kondisi tubuhnya netral, proses berikutnya adalah pembersihan dengan pemasukan radio partikel 30 biji dan radiasi 10 kali, serta proses penguatan dengan melakukan imunoterapi 2 kali.

Lisa mengaku setelah dinyatakan bersih seharusnya ia kembali kontrol untuk program penguatan. Tapi karena merasa sudah cukup sehat, Lisa mengaku malas dan tak mau lagi disuntik obat-obatan herbal itu. Akibatnya, kondisinya sering tidak stabil karena lekositnya yang turun terus.

"Akhirnya saya balik lagi untuk program penguatan dan sekarang makin fit," kata perempuan energik ini.

Pengobatan kemoterapi lokal diakui Lisa memberikan efek samping juga ke badannya, seperti rambut, bulu mata dan alis rontok. Tapi setelah masa pembersihan selesai rambutnya tumbuh menjadi lebih tebal dan kulitnya lebih halus.

"Teman saya sampai bilang, rambutmu kok tambah tebal dan kulitnya halus pakai apa? Saya bilang dengan bercanda kalau mau ya kemoterapi saja pakai herbal," ujarnya tergelak.

Berapa biaya yang dikeluarkan untuk bolak-balik ke Guangzhou? Lisa menjawab, "Total saya keluar dana sampai sembuh itu sekitar Rp 600 juta, dan itu menurut teman-teman jauh lebih murah ketimbang biaya pengobatan kanker di Singapura, Malaysia atau di Jakarta sendiri karena semuanya sudah diurus".

Satu hal yang menjadi komitmen Lisa pada dirinya setelah mengalami masa-masa perjuangan melawan kanker adalah ia menjadi lebih menghargai arti hidup. Lisa berusaha hidup lebih sehat dan teratur dan rajin olahraga untuk meningkatkan kebugarannya.

"Olahraga yang disarankan buat saya adalah renang, olahraga lain belum disarankan, mungkin karena berhubungan dengan dada jadi saya harus memperkuat kebugaran dengan cara renang," pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar